Dalam banyak hal, mencintai Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak datang tiba-tiba, tapi dibutuhkan proses yang sangat panjang yang ikut membentuk pelakunya, Sang Pecinta. Mencintai dalam konteks ini tidak saja di mulut dengan mengatakan hubbu al-wathan min iman, melainkan juga dalam praktik kehidupan sosial kemasyarakatan. Bukannya, ungkapan dimulut kurang memberikan arti apa-apa, jika tidak dibarengi oleh aksi nyata dan konkrit. Bukannya cinta harus dibuktikan dalam kenyataan.
Proses interaksi sosial dan budaya yang mempengaruhi jalan hidup seseorang akan berpengaruh pada kualitas komitmen pada cara menegaskan kecintaan pada Indonesia dalam bingkai keragamaan agama, suku dan ras. Tidak ada orang yang kualitas komitmennya tinggi kepada bangsa lahir dalam ruang kosong. Karenanya, interaksi sosial yang terbuka dengan siapapun akan melahirkan sosok individu yang terbuka menerima keragaman dalam konteks kebangsaaan.
Itulah kira-kira pernyataan awal setelah membaca buku Gus Yaqut: Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia. Buku yang cukup tebal ini __dengan jumlah halaman 485_ menarik untuk dibaca di tengah tantangan mencintai Indonesia terus ada, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Buku yang ditulis oleh tim Ansor Channel penting; setidaknya dalam rangka menjadi bahan referensi, sekaligus inspring untuk tetap mencintai Indonesia dalam kondisi apapun dengan belajar pada Gus Yakut sebagai tokoh sentral yang menjadi bahasan.
Ada dua hal penting, menurut penulis dengan membaca bukuini, pertama, lingkungan keluarga. Gus Yakut lahir dari lingkungan pesantren yang sangat kuat; lingkungan santri telah dialaminya sejak lahir sehingga menjadi cukup beralasan bahwa Gus Yaqut selalu bergerak dalam ideologi yang diperjuangkan oleh kalangan kiai-kiai pesatren, yakni keberislaman yang berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di satu sisi dan keindonesiaan yang harmoni dalam bingkai kebhinnekaan.
Di samping itu, keterbukaan keluarga besar KH. Kholil Bisri dalam memberikan teladan yang sangat berarti pada pertumbuhan dan perkembangan Gus Yakut serta saudara-saudaranya. Posisi Kiai Kholil, misalnya, bukan hanya pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang, ia tercatat juga sebagai aktivis NU. Bahkan menjadi politisi Muslim yang berkali-kali menempati posisi strategis di DPRD tingkat II hingga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI serta ikut menginisiasi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa, lih. 11-38.
Di samping itu, kedua, pengaruh keterbukaan pergaulan, dan keterbukaan membaca pikiran-pikiran orang yang terbuka wawasannya. Sebut saja misalnya, kegandrungan Gus Yaqut pada pemikiran dan pergerakan yang dilakukan oleh KH. Abdurrahman Wahid, khususnya dalam mengawal isu-isu toleransi dan keragaman agama, suku serta ras. Keterbukaan ini sangat penting sebab dengan terbuka wawasan, seseorang akan terbuka juga dalam mengambil tindakan dan pergaulan serta konsisten bergerak pada melawan intoleransi.
Salah satunya, misalnya, tekad Gus Yaqut mengambil pilihan mendukung Ahok kaitan Pilgub DKI tidak lain dalam rangka agar kiranya intoleransi tidak bersemai secara masif di Indonesia. Biarkan pilgub berjalan secara damai dan biarkan rakyat memilih dengan hati nuraninya, tanpa ada penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik sesaat, apalagi menggunakan agama sebagai pembenar tindakan intolerasi kepada yang berbeda.
Akhirnya, Gus Yaqut sebagai tokoh muda yang terus menebarkan cara berpikir terbuka dengan siapapun. Apa yang digerakkan dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sejatinya adalah kerja-kerja berkelanjutan untuk meneruskan nilai-nilai perjuangan yang diadopsi dari kultur keluarga santri, pergaulan yang terbuka serta pengetahuan yang terbuka dengan belajar pada tokoh-tokoh progresif sebelumnya.
Semoga kita bisa belajar, hanya intinya dari semua itu adalah keterbukaan hidup berinteraksi dengan siapapun yang beragam. Pastinya, interaksi ini tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang religius sebagai karakter keindonesiaan kita.
Peresensi :
Wasid Mansyur
Waka PW GP Ansor Jawa Timur