Jakarta – Saat ini, kita hidup di tengah-tengah fitnah dan sedang menghadapi beberapa situasi darurat. Mulai dari darurat ahlussunnah wal jamâ’ah (aswaja), darurat sami’na wa atha’na, darurat hoaks, darurat tabayun, hingga darurat radikalisme (kalimatu haqqin urîda bihâ bâthil). Dalam situasi dan kondisi tersebut, setiap pengurus Nahdlatul Ulama tentu memiliki kewajiban moral untuk melakukan pembinaan terhadap umat Islam dan warga bangsa secara keseluruhan.
Secara khusus, kewajiban pembinaan terhadap jamaah nahdliyin juga melekat pada diri pengurus dan para tokoh Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Sebagaimana kita ketahui bersama, para mu’assis dan sesepuh Nahdlatul Ulama mengajarkan metode dakwah yang membina, bukan menghina. Dakwah yang merangkul, bukan malah memukul. Akan tetapi, kalau upaya pembinaan sudah tidak bisa dilakukan lagi, dan ancaman yang datang sudah sedemikian serius, bisa jadi kondisinya akan berakhir sebagaimana syair lagu Ya Lal Waton, “…siapa datang mengancammu, ’kan binasa di bawah dulimu.”
SIDANG PEMBACA RAHIMAKUMULLAH,
Dalam waktu dekat, kita akan menghadapi Muktamar ke-34, sebagai titik terdekat menyongsong abad baru Nahdlatul Ulama. Sebagaimana kita ketahui dan telah disabdakan oleh Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam, bahwa setiap 100 tahun Allah Subhânahu wa Ta’âla akan membangkitkan para pembaharu atau mujaddid untuk menyegarkan ahkâm ijtihâdiyah furû’iyah yang sudah mulai keropos dan banyak ditinggalkan oleh umat.
Menghadapi situasi dan kondisi darurat yang terjadi, mari kita gunakan kesempatan yang ada untuk memperbarui hal-hal yang mendesak untuk kita perbaiki bersama. Jika Islam melahirkan pembaharu setiap 100 tahun, kita tentu juga berharap saat ini akan lahir ijtihad-ijtihad baru dalam organisasi kita.
Sebagaimana para pendahulu kita telah berijtihad untuk melahirkan jam’iyah tercinta ini, maka di ujung abad pertama dan menjelang abad kedua ini kita perlu berijtihad untuk mengatasi kegoncangan dan erosi atau menipisnya pemahaman terhadap Nahdlatul Ulama (ghiyâbu ma’na Nahdlatil Ulama). Menjadi kewajiban kita untuk mengembalikan pemahaman yang kian menipis tersebut, sekaligus untuk menghadapi dan mempersiapkan generasi selanjutnya memasuki abad kedua Nahdlatul Ulama.
Sungguh kita adalah generasi yang beruntung karena diberi kesempatan untuk menjaga, menggagas dan mempersiapkan Abad Baru Nahdlatul Ulama. Saya yakin, Nahdlatul Ulama tidak akan bubar sampai hari kiamat. Akan tetapi, menipisnya pemahaman terhadap Nahdlatul Ulama bisa saja terjadi. Tanpa pembaharuan dan persiapan yang baik, bisa saja terjadi, Nahdlatul Ulama hanya tinggal rupa tapi tidak punya makna. Nahdlatul Ulama-nya besar, tetapi kalau tidak punya kekuatan akan menjadi santapan empuk bagi pihak lain.
PEMBACA YANG BUDIMAN,
Dalam perjalanan 100 tahun berikutnya, praktik kehidupan kita akan dihadapkan pada tantangan realitas yang lebih berat dan complicated. Untuk itu, kehadiran Nahdlatul Ulama mau tidak mau harus faktual, nyata dan terukur. Agar visi dan misi besar NU dapat direalisasikan secara terarah untuk kemaslahatan NU yang meliputi jama’ah dan jam’iyah, bangsa Indonesia dan dunia dalam spirit ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah.
Cita-cita besar Nahdlatul Ulama adalah menjadikan jam’iyyah diniyyah islamiyah ijtima’iyyah yang memperjuangkan tegaknya ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyyah, mewujudkan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, kesejahteraan, keadilan dan kemandirian khususnya warga NU serta terciptanya rahmat bagi semesta dalam wadah NKRI yang berasaskan Pancasila. Cita-cita besar ini harus diturunkan dalam program-program sebagaimana yang dimandatkan oleh Muktamar NU.
Jika di dunia industri orang mengenal Revolusi Industri 4.0, maka kita juga perlu mengadopsi dan mengenalkan revolusi 4.0 ala Nahdlatul Ulama. Kita mungkin bisa menyebut kerangka pembaruan tersebut sebagai Revolusi Institusi 4.0 yang terdiri dari 4G.
Pertama, bagaimana kita memperkuat dan mengokohkan kembali grand idea Nahdlatul Ulama dalam visi dan misi besar NU. Bagaimana visi misi Nahdlatul Ulama kita pertegas dan segarkan kembali, untuk kemudian kita jadikan instrumen menyatukan langkah seluruh elemen Nahdlatul Ulama, baik yang berada di jalur struktural maupun kultural. Oleh karena itu kita harus memperkaya ide, memperluas wawasan dan improvisasi untuk menggerakkan zaman kita. Kita tidak boleh bertumpu pada “kemapanan”. Karena kemapanan adalah penyakit yang menggerogoti kekuatan yang ada.
Kedua, bagaimana kita mengkonsep kembali dan mendesain ulang ajaran-ajaran Nahdlatul Ulama yang bersifat furû’iyah, bukan yang pokok (ushûliyah). Saat ini, dunia semakin ingin mengenal ajaran Nahdlatul Ulama secara lebih dekat dan lebih mendalam. Karena itu, kita perlu mendesain ulang hal-hal furû’iyah yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebut saja ini sebagai grand design Nahdlatul Ulama.
Arus utama desain program Nahdlatul Ulama periode ini adalah ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Untuk mencapainya, dibutuhkan adanya grand strategy dalam bentuk advokasi, kaderisasi, dan distribusi kader yang teruji baik ke dalam maupun ke luar. Distribusi ke dalam, yaitu melalui perangkat organisasi. Sedangkan distribusi ke luar adalah melalui institusi-institusi baik pemerintahan maupun non-pemerintahan.
Grand strategy ini sangat penting untuk implementasi grand design yang telah dirumuskan. Nahdlatul Ulama ini ibarat keluarga besar. Warganya sangat banyak dan tersebar di semua lini, dengan kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa dan beragam. Karena itu, perlu dipikirkan cara mengelola potensi besar ini dan strategi peningkatan keberperanan mereka untuk didistribusikan ke ruang-ruang publik yang tersedia. Semuanya demi menyelamatkan aswaja dan masa depan bangsa, bukan demi kepentingan pribadi-pribadi. Sebab, Nahdlatul Ulama memang dilahirkan untuk menyelamatkan umat dan bangsa, bukan untuk menyelamatkan pribadi-pribadi.
Dengan potensi dan kekayaan umatnya, Nahdlatul Ulama dapat menjadi energi yang luar biasa bagi upaya memajukan bangsa dan negara ini. Jika kita dapat mengelola dan memanfaatkan energi tersebut dengan baik, tentu hal itu bukan mustahil akan terwujud. Kalau kita membiasakan melakukan hal yang tidak biasa, maka Allah Subhânahû wa Ta’âla juga akan memberikan atau menganugerahkan hal yang tidak biasa, yaitu kekuatan min haitsu lâ yahtasib.
Untuk memastikan grand strategy berjalan dengan baik, dibutuhkan grand control yang sedemikian rupa, melalui mekanisme peraturan organisasi yang disepakati bersama. Dengan demikian, praktik gerakan Nahdlatul Ulama (harakah nahdliyah) tidak berjalan sendiri-sendiri dan parsial, namun berjalan dalam kerangka organisatoris yang baik (well organized). Kontrol organisasional ini akan berimplikasi pada kesamaan pola pikir, langkah, dan komando secara dinamis.
Oleh karena itu, kita harus memperkaya ide agar secara kelembagaan, sistem dan gerakan Nahdlatul Ulama juga dapat dikontrol oleh garis komando secara organisatoris dari PBNU sampai kepengurusan di tingkat anak ranting. Dari situ, Nahdlatul Ulama akan menjadi organisasi keagamaan dan sosial yang bergerak secara sistemik, proaktif, dan responsif, serta terus-menerus menebarkan kasih sayang (rahmatan lil âlamin).
SIDANG PEMBACA YANG BUDIMAN,
Dalam persiapan menyongsong abad kedua Nahdlatul Ulama, selain menyiapkan penguatan kelembagaan yang bersifat internal, kita tidak boleh mengabaikan tanggung jawab terhadap keselamatan bangsa dan keberlangsungan kehidupan kemasyarakatan kita. Sebab, salah satu tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama adalah untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat kemanusiaan.
Sebagaimana dikemukakan di awal taushiyah ini, salah satu kondisi yang kita hadapi saat ini adalah darurat radikalisme (kalimatu haqqin urîda bihâ bâthil) telah merambah di semua lembaga dan tataran kehidupan. Beberapa hasil riset telah mengungkap indikasi banyaknya aparatur sipil negara (ASN) yang terpapar radikalisme. Mereka telah menyebar dan merasuk ke dalam berbagai institusi negara, mulai dari perguruan tinggi negeri, lembaga-lembaga negara hingga badan usaha milik negara (BUMN).
Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga mengakui adanya sekitar tiga persen anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah terpapar paham radikalisme dan ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi khilafah. Hal ini tentu menjadi alarm bagi kita bersama. Sebab, anggota TNI yang seharusnya menjadi benteng terdepan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ternyata telah terpengaruh ideologi lain yang bahkan bertentangan dengan sumpah prajurit.
Demi kepentingan agama dan masa depan bangsa, seluruh elemen Nahdlatul Ulama harus mengambil peran untuk mengembalikan mereka yang telah terpapar paham radikalisme kepada pemahaman Islam yang moderat (wasathiyah). Dalam lima tahun ke depan, seluruh kaum santri harus mengambil porsi tanggung jawab dan bekerja keras untuk mengembalikan mereka kepada pemahaman yang benar, Islam Wasathiyah ala Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah.
PBNU perlu memfasilitasi berdirinya pesantren-pesantren, khususnya di luar Jawa, yang banyak menjadi korban radikalisasi kelompok yang sistemik; amaliahnya NU namun fikiran dan tata cara serta gerakannya terapan mereka. Sistem pesantren mampu mewujudkan “wasathiyah” dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Inilah hal yang patut menjadi renungan kita bersama di tengah kegembiraan dan kemeriahan perayaan Hari Santri setiap bulan Oktober. Kita harus selalu mengingat bahwa Hari Santri adalah salah satu titik krusial dalam momentum perjuangan bangsa, bukan sekadar perayaan agenda suka cita. (*)
Oleh: Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar