Dalam upaya memperkuat sinergi antara agama dan kebijakan pasaca pandemi di masa krisis, dua akademisi asal Indonesia yang juga merupakan kader Ansor, Muhammad Fauzinudin Faiz dari UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember dan Muhammad Taufiq Ahaz dari IAIN Madura, telah berhasil menarik perhatian dunia internasional melalui penelitian mereka mengenai mitigasi fikih dan otoritas fatwa selama pandemi. Berbekal dua program fellowship di Istanbul dan Maroko, mereka menjelajahi pendekatan yang berbeda dari setiap negara dalam merespons pandemi melalui perspektif agama.
Faiz, dosen fiqh dan ushul fiqh yang juga menjabat sebagai Pengurus Bidang Hubungan dan Kerjasama Internasional di Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, berpartisipasi dalam Istanbul Sharia & Social Development Fellowship (ISSDF) di Universitas Istanbul dan Maghreb Islamic Jurisprudence & Social Development Fellowship (MIJSF) di Universitas Al Quaraouiyine, Maroko. Kedua program ini mempertemukannya dengan para peneliti dan akademisi dari berbagai negara, memperluas jaringan akademis dan memperkaya wawasan terkait peran agama dalam menghadapi krisis kesehatan.
Melalui riset ini, Faiz tidak hanya menganalisis, tetapi juga turut memberikan kuliah tamu terkait mitigasi fikih kepada mahasiswa dan akademisi internasional. Dalam kuliah tamunya, Faiz menyoroti pendekatan fikih yang diterapkan di negara-negara Muslim dalam menghadapi pandemi, dengan fokus pada peran fatwa sebagai panduan mitigasi. Menurut Faiz, penerapan fatwa yang relevan dapat memperkuat respon krisis kesehatan di negara-negara mayoritas Muslim, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agama.
Di Turki, Faiz mendalami peran Diyanet sebagai lembaga otoritas agama di bawah pemerintah yang berperan langsung dalam memberikan panduan agama selama pandemi. Sebagai lembaga yang menerbitkan fatwa-fatwa sentral, Diyanet berhasil memastikan kebijakan mitigasi yang konsisten di seluruh wilayah Turki. Dengan kebijakan yang seragam, masyarakat dapat mengikuti panduan mitigasi fikih yang selaras dengan protokol kesehatan. Di Maroko, ia mengamati bagaimana peran Raja sebagai Amir al-Mu’minin memberikan legitimasi penuh pada fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama. Faiz mencatat bahwa sistem ini memungkinkan integrasi yang kuat antara otoritas agama dan negara dalam menghadapi pandemi.
Taufiq Ahaz, yang juga berperan sebagai Pengurus PW Ansor Bidang Mutu Pendidikan, menambahkan perspektif yang multidisipliner dalam penelitian mereka. Sebagai seorang akademisi, ia memfokuskan riset pada implementasi nilai hifd al-nafs (perlindungan jiwa) dalam fatwa yang dikeluarkan Diyanet di Turki. Ia menemukan bahwa pendekatan yang menekankan pentingnya keselamatan jiwa sejalan dengan prinsip-prinsip fikih dan memungkinkan masyarakat mengikuti protokol kesehatan tanpa adanya konflik dengan nilai agama.
“Kami melihat bagaimana kebijakan kesehatan dan nilai-nilai agama dapat berjalan seiring dalam menghadapi krisis,” ujar Taufiq. Menurutnya, riset ini menjadi upaya penting dalam merumuskan pendekatan yang dapat diaplikasikan di Indonesia untuk menjembatani kebijakan kesehatan publik dengan prinsip-prinsip agama. Dengan adanya pluralitas lembaga keagamaan di Indonesia seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah, panduan mitigasi fikih yang konsisten masih merupakan tantangan tersendiri.
Lebih dari sekadar penelitian, program fellowship ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi akademisi Indonesia di kancah internasional. Melalui publikasi di jurnal akademik internasional, Faiz dan Taufiq berharap riset mereka bisa menjadi referensi penting dalam kajian fikih, kebijakan agama, dan respons krisis. Kedua akademisi ini membuktikan bahwa kader-kader Ansor tidak hanya aktif di dalam negeri tetapi juga mampu bersaing dan memberikan sumbangsih bagi kajian Islam kontemporer di level global.