Oleh : H.M. Syafiq Syauqi, Lc
(Ketua PW GP Ansor Jawa Timur)
Spirit Hari Santri yang setiap 22 Oktober dirayakan dengan beragam seremoni dan upacara khidmat di pesantren-pesantren tidak hanya menjadi momentum refleksi aksi perlawanan fisik santri melawan penjajah semata, melainkan harus dibaca sebagai satu keberanian sikap dimana santri telah terikat secara intelektual dan emosional dengan republik ini.
Ijtihad Ulama yang dalam tekanan agresi militer belanda periode 1945 memperjelas status pijakan keislaman hukum mati syahid membela tanah air dari penjajahan sekutu itu menunjukkan bahwa spirit keislaman santri merupakan spirit keislaman yang mengurat nadi di bumi Nusantara
Jika kita tilik pada masa awal republik, tak terhitung jumlahnya tokoh-tokoh santri yang menjadi lokomotif di pelbagai bidang, dari tokoh sipil hingga militer, dari sumbangsih pemikiran sampai sumbangsih Darah dan nyawa.
Meminjam istilah yang digunakan Nurcholis Madjid dalam bilik-bilik pesantren, bahwa semiotika santri itu merujuk pada dua entitas sejarah masa lampau yakni Sastri dan Cantrik yang bermakna melek huruf juga pembelajar sejati diambil dari istilah Sansakerta sampai jawa lama. Artinya pijakan santri selain asah fikiran yang istiqamah juga tindak laku yang tawadhu setia mengikuti guru kemanapaun ia melangkah. Apabila satu guru menabalkan hati serta jiwanya di jalan perjuangan maka jutaan santri siap mengikuti langkah sang guru, entah berikhtiar secara intelektual ataupun mati syahid di medan juang.
Langkah Hadratusyaikh Hasyim As’ari dalam menginisiasi pembentukan laskar hizbullah pada 4 Desember 1944 akan dibaca sebagai tonggak perlawanan kaum santri, pun juga demikian dengan Resolusi jihad 22 Oktober 1945 seturut arahan seorang Rois Akbar Nahdlatul Ulama maka disambut dengan gemuruh ketakwaan santri untuk jihad fi sabilillah di medan laga
Di masa yang jauh lebih lampau Raden Mas Antawirya atau yang dijuluki Pangeran Diponegoro telah memipin Perang Jawa sepanjang tahun 1825 sampai 1830.
Pada aras peran pemikiran tentu kita ingat sumbangsih Hos Tjokroaminoto seorang mentor ideologis dari bung karno yang membentuk organisasi massa terbesar pada awal perjuangan republik yakni Sarekat Islam, juga Peran Tokoh Muda Nahdlatul Ulama kyai Wahid Hasyim yang menjadi jangkar pemersatu antara kelompok islam dan kelompok nasionalis dalam perumusan pancasila hingga muncul Frasa ‘Ketuhanan Yang maha esa’ sebagai kompromi kelompok islam atas kemajemukan agama di Republik ini, juga sepak terjang figur semacam Agus Salim yang menjadi diplomat terdepan indonesia pada lingkar-lingkar pertemuan penting dalam persetujuan dunia internasional atas nasib kemerdekaan Republik.
Catatan ini menunjukkan bahwa sumbangsih kaum santri tidak terbatas pada perjuangan fisik belaka melainkan juga sumbangsih fikiran dan intelektual
Tradisi inilah yang mengantarkan figur santri intelektual seperti Gus Dur muncul kepermukaan pasca periode panjang pemerintahan Otoriter Orba, Santri dapat menjadi orang nomor satu republik. Pun pula bagaimana begawan fiqh Senior seperti kyai makruf amien dapat tampil di panggung politik hingga menjadi wakil presiden. Hal ini kembali menunjukkan bahwa Bersantri ialah satu nafas lelaku pengabdian, entah dimanapun di tempatkan ia akan menjadi medan menebar rahmah
Di Jawa Timur sendiri, yang merupakan kantong perjuangan para santri, ketauladanan mengabdi pada republik oleh guru-guru sepuh itu banyak pula diikuti para santri-santri muda. Santri muda yang kemudian mewakafkan jiwanya menjadi pelayan publik, sebut saja Santri macam Thoriqul Haq bupati Lumajang, Irsyad Yusuf Bupati Pasuruan, Badrut Tamam Bupati Pamekasan Hingga ibu khofifah Indar Parawansa gubernur Jawa Timur, semua pelayan publik ini alhamdulillah berlatar santri dan semoga mencantrik (mentauladani) sikap-sikap guru serta kyai pendahulu yang menterjemahkan amanah perjuangan sebagai medan menebar rahmah sebaik mungkin.
Namun patut menjadi refleksi bersama tentang satu karakter santri yang kini sudah mulai langka, pergi seiring dengan berpulangnya para ulama sepuh kita.
Karakter ‘nekad’ santri yang tidak mau tunduk pada fakta atau realitas menjadi sesuatu yang harus kembali dihidupkan. Terlebih membaca realitas keislaman dan keindonesiaan yang masih menempatkan santri sebagai sub ordinat dalam leading sector policy di negri para wali.
Dalam menghidupkan karakter ‘Nekad’ setidaknya penulis mengajak untuk merenungi dawuh dari Gus Dur di hari Santri, “Dalam berjuang kita tidak boleh tunduk pada fakta, leluhur kita besar karena mampu menemukan fakta baru”
Sebagai Penutup Refleksi hari santri 2020 ini mari kita para santri turut menterjemahkan prinsip Fikir, prinsip dzikir, dan prinsip amal yang telah poro kyai tauladankan sejak lama. Agar dalam menghadapi tantangan di hari depan, santri tetap muncul sebagai lokomotif yang berada di garis depan berkhidmat untuk Republik ini.