Peran dan kontribusi Nahdatul Ulama (NU) sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, terutama dalam pemberdayaan masyarakat.
NU juga mempunyai kedekatan hubungan dengan Presiden RI yang pertama, Soekarno. Pada Muktamar Alim Ulama se- Indonesia tahun 1953 di Cipanas, diputuskan untuk memberi gelar kepada Soekarno sebagai Waliyul Amri Dharuriy bis-Syawkah (Pemimpin Pemerintahan yang berkuasa dan wajib ditaati). Bila dipandang dari sudut nasionalisme, NU dan Soekarno selalu menempatkan kepentingan nasional, kepentingan bangsa di atas kepentingan orang-perorang, kelompok atau golongan. Dukungan NU kepada Bung Karno juga dicatat dalam sejarah dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di bawah komando KH. Hasyim Asy`ari yang mewajibkan segenap umat Islam, khususnya warga NU untuk berperang melawan sekutu.
Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik berkobar ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942.
Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu tidak diabaikan oleh NU.
Alasannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang membentuk kantor urusan agama (shumubu) yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan memberi pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olah raga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisasi di kalangan kyai.
Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang. K.H. Hasyim Asyari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU. Kegoncangan bertambah hebat ketika K.H. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan itu terus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. K.H. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yang terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang, seperti Saiko Siki Kan (Panglima tertingi bala tentara Jepang di Jakarta), Gunseikan (Kepala Pemerintahan militer Jepang di Jakarta) dan Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya). Usaha keras K.H. Wahab untuk membebaskan K.H. Hasyim, K.H. Mahfudz Shiddiq dan beberapa kiai lainnya membuahkan hasil dibebaskannya kiai-kiai itu. Usaha untuk pembebasan ini memakan waktu sampai enam bulan.
Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni Peta yang diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan tak terkecuali umat Islam dan para kiai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi Peta, padahal mereka tahu pembentukan Peta dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang menghadapi Sekutu yang akan datang ke Jawa? Masuknya banyak orang Indonesia ke Peta lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengangankan mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan datang, bukan karena semata ingin membantu Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang akan membubarkan organisasi sosial-politik-keagamaan yang tidak mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi.
Pada tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan diangkatnya K.H. Hasyim Asyari sebagai Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Pada tahun itu juga K.H. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan pelatihan militer khusus kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat tersendiri yakni Hizbullah dan Sabillilah. Sejak saat itu ormas Islam memiliki pasukan tersendiri. Kaum nasionalis yang netral agama menguasai tentara nasional (Peta) yang dibentuk Jepang.
Baik Peta, Hisbullah ataupun Sabilillah yang diharapkan Jepang bisa membantu Perang Asia Timur Raya, ternyata yang terjadi malah kebalikan, kemampuan ketika komponen ini dipergunakan untuk memukul Jepang. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan karena di beberapa medan pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian direspons secara positif oleh Pimpinan Kongres Umat Islam se-Dunia, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dari Palestina mengirimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman. Surat itu juga ditembuskan kepada K.H. Hasyim Asy’ari (Rais Am Masyumi). Dengan cepat K.H. Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktober 1944, yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang.
Resolusi tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh. Keempat, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan kepada segenap bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1999: 126). Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak politiknya di masa depan.
Jauh hari sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya ke-15 yang diselenggarakan bulan Juni 1942 (muktamar terakhir masa kolonial Belanda) diadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 orang ulama yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Shiddiq untuk membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia. Sebelas tokoh NU menentukan pilihan dua nama yang disebut, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta. Para ulama memilih Soekarno banding Hatta dengan perbandingan suara 10:1.
Pembicaraan mengenai calon pemimpin pertama Indonesia itu dilakukan pada saat Indonesia belum bisa memastikan kapan akan merdeka. NU melakukan pembicaraan dini mengenai pemimpin bangsa Indonesia dikarenakan NU menganggap pemimpin itu sangat penting. Ada ajaran (Islam) yang menyebutkan bahwa pemimpin yang lalim masih lebih baik ketimbang tidak ada pemimpin.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Dalam badan itu juga tercantum nama K.H. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) juga muncul pembicaraan mengenai bentuk negara. Polarisasi pendapat di dalam BPUPKI mengenai bentuk negara; satu pihak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia.
Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder (tanpa) demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dari agama.
Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya, negara demokrasi dengan memisahkan agama dari negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. (Nilai-nilai) agama bisa dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Pemikiran Soekarno ini substansialistik yang menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) kebangsaan; 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja. Perdebatan sengit tentang sila Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang diajukan dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata terakhir mendapat tentangan keras dari kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin nasionalis-muslim seperti Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuannya dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta yang menjadi titik sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen.
Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI (di dalamnya KH. Wahid Hasyim) yang bertugas merumuskan tentang dasar negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais-muslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur (NU) dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.
Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata perjuangan masih terus berlanjut. Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara diliputi ketegangan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu. Sekutu yang datang ke Indonesia untuk melakukan pelucutan senjata terhadap Jepang dilihat sebagai musuh yang akan mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda kembali. Terbukti tentara Sekutu diboncengi oleh tentara Belanda (NICA). Selama periode 1945-1949, Tentara Nasional dan laskar-laskar rakyat melakukan perlawanan sengit terhadap Sekutu dan Belanda.
Para kiai dan pengikutnya dalam jumlah yang sangat besar sejak awal terlibat aktif dalam perang kemerdekaan. Banyak dari mereka yang tergabung dalam barisan Hizbullah yakni kelompk semi-reguler yang dilatih kemiliteran oleh tentara Jepang. Komandan Hizbullah adalah Zainul Arifin tokoh NU dari Sumatera Utara. Pada saat yang sama laskar-laskar yang terdiri dari kiai desa bersama dengan pengikutnya muncul dengan nama Sabilillah yang dikomandani KH. Masykur, tokoh NU yang kelak menjadi politisi terkenal dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama berkali-kali. Pada permulaan tahun 1944 setelah empat bulan Hizbullah terbentuk, seluruh Jawa-Madura dan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera juga sudah terbentuk. Sabilillah adalah laskar pendamping Hisbullah yang terdiri dari kelompok rakyat non reguler.
Tentara Inggris mendarat pada bulan September 1945 yang menduduki Jakarta atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan bulan Oktober tentara Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa (Semarang dan Bandung) yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Kondisi dan kenyataan ini membuat para pempimpin Indonesia sangat marah, termasuk para ulama NU.
NU kemudian ikut terlibat aktif dalam perjuangan ini dengan fatwa yang sangat terkenal “Resolusi Jihad”. Pada tanggal 21-22 Oktober wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad. Resolusi jihad ini meminta pemerintahan RI mendeklarasikan perang suci dengan Resolusi tentang jihad Fisabilillah.
Isi resolusi Jihad itu adalah,”berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak (bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km dari tempat masoek dan kedodoekan moesoeh.Bagi orang-orang jadi berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja).Apabila kekoetan dalam no 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh, maka orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran 94 Km wajib berperang djoega membantoe No 1, sehingga moesoeh kalah. Kaki tangan moesoeh adalah pemedjah teqat dan kehendak ra’jat, dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam sabda Chadist, riwajat Moeslim.”
Resoloesi ini disampaikan kepada: P.J.M Presiden Repoeblik Indonesia dengan perantaraan Delegasi Moe’tamar; Panglima Tertinggi T.R.I.; M.T. Hizboellah; M.T. Sabilillah dan Ra’jat Oemoem
Resolusi Jihad sangat berpengaruh besar terhadap umat Islam, khususnya NU. Banyak santri dan pemuda NU ataupun rakyat umum yang kemudian bergabung ke pasukan-pasukan non reguler seperti Hizbullah dan Sabillilah. Pada tanggal 10 Nopember, dua minggu setelah Surabaya kedatangan Inggris (diboncengi Belanda) pecah perang, yang dikenal sebagai perang 10 Nopember 1945.
Banyak santri dan kaum muda NU terlibat aktif dalam perang tersebut. Banyak pejuang-pejuang NU ini ‘memakai jimat’ yang diberikan kiai-kiai mereka di pesantren atau di desanya. Bung Tomo yang menggerakkan massa melalui pidato radio, mungkin tidak pernah menjadi santri, tetapi diketahui meminta nasehat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Perang juga terjadi dibeberapa daerah seperti di Ambarawa dan Semarang.
Dengan Resolusi Jihad dan kritiknya terhadap pemerintahan RI yang dianggap pasif menghadapi serangan kaum agresor penjajah, NU telah menampilkan dirinya sebagai kelompok yang cinta tanah air dengan membangun kekuatan radikal melawan musuh dengan perang. Sikap ini muncul berkali-kali dengan terus mengkritik pemerintah yang menandatangani “Perjanjian Linggarjati dan Renville” dengan Belanda. Perubahan sikap NU yang berpegang pada tradisi Sunni, yang kadang bisa moderat dan kadang bisa radikal dipicu oleh sebuah kaidah fikih yang menjadi dasar pegangan keagamaan mereka.
Dalam konteks ini penguasa sah adalah pemimpin-pemimpin RI, walaupun dalam sejarahnya NU juga mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah de facto yang sah yang wajib ditaati (walaupun bukan muslim) selama masih memperbolehkan umat Islam menjalankan agamanya. Jepang telah mengakhiri pemerintahan Hindia Belanda, dan ketika Belanda ingin kembali, sebuah pemerintahan pribumi sudah menggantikannya.
Dari sudut pandang ini, Belanda dan sekutunya tidak lain adalah musuh kafir yang harus dilawan. Perang suci menjadi kewajiban agama. Muktamar NU yang pertama setelah perang adalah pada bulan Maret 1946, dan NU kembali mengeluarkan resolusi yang kali ini dikhususkan kepada mereka yang diwajibkan agama untuk ikut serta dalam memperjuangkan mempertahankan Negara Kesatuan Indonesia.
*) Oleh Aji Setiawan, Mantan Sekretaris PMII Komisariat KH Wachid Hasyim UII Yogyakarta. Penulis tinggal di Purbalingga Jawa Tengah.