Politik Kebangsaan dan Pemilu 2024
- account_circle Redaksi 9
- calendar_month Jum, 1 Apr 2022
- visibility 8
- comment 0 komentar

Sumbangan penting lainnya dari NU ialah komitmennya mempraktikkan politik kebangsaan. Kalau kita lihat Kebangsaan atau nasionalisme ini adalah pandangan yang menegaskan bahwa individu atau penduduk harus meletakkan kesetiaan tertinggi mereka kepada negara kebangsaan dan bukan pada ikatan primordial yang lain seperti suku dan agama. Almarhum Kiai Sahal Mahfudz (Rais AM 19992014) pernah menyerukan agar NU melaksanakan politik tingkat tinggi (high politics). Bukan politik rendah (low politics). Praktik politik tingkat tinggi, antara lain, melakukan penyadaran hak-hak rakyat, melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pihak mana pun, serta memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Idealnya, NU harus terus menjadi penengah, pendorong, serat perekat persatuan berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nila-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Berdasarkan hasil rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/1/2022). menyepakati penyelenggaraan pemungutan suara Pemilu Serentak 2024 dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024. Sementara itu, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, disepakati bakal digelar pada 27 November 2024.
Sekarang kita singgung terkait mengapa Pemilu tahun 2024 menjadi penting, karena akan terjadi perubahan generasi kepemimpinan dan bangsa ini mau melanjutkan demokrasi dimana di era reformasi Pemilu tahun 2024 merupakan Pemilu ke-6. Maka penting bagi warga negara khususnya warga Nahdliyin mengetahui apa sebenarnya tujuan adanya Pemilu?. Hal ini biar tidak terjebak pada politik pragmatis dan politik pragtis dalam setiap momentum Pemilu.
Menurut Philips J Vermonte dalam webinar “Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan”, dimana tujuan Pemilu adalah:
1. Pemilu adalah representasi puncak dari sistem demokrasi.
2. Pemilu itu pemberian punisment dan reward, dimana Pemilih/Masyarakat secara rasional dapat memberikan punisment dan reward kepada Politisi dan Partai Politik dalam memimpin, artinya jika Kepemimpinannnya baik dipilih kembali dan jika kepemimpinannya belum berjalan baik tidak memilih kembali dalam Pemilu.
3. Membentuk Pemerintahan, bagaimana pasca Pemilu atau Pilkada terjadi dan terbentuk Pemerintahan yang representatif dan juga bisa memerintah
4. Bangsa ini dengan masyarakat yang plural, menjadikan Pemilu sebagai alat agar persoalan perbedaan konflik diselesaikan secara electoral. Artinya ada peralihan persoalan dari violence ke voting.
5. Electoral engineering (rekayasa elektoral), sistem Pemilu tidak boleh lepas dari sistem kepartaian keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Rekayasa ini agar tercipta sistem kepartaian dan sistem Pemilu terutama masyarakat Pemilih yang nanti saling menopang demokrasi bukan saling menegasikan.
6. Menciptakan Pemerintahan berdasarkan koalisi yang dipercaya oleh Masyarakat.
- Penulis: Redaksi 9