PERPRES 112 : ANGIN SURGA EBT, KIAMAT PLTU ?
Oleh : Junaidi¹
Pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) mendapatkan angin segar, dengan disahkannya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, 13 September lalu. Kebijakan tersebut, pada intinya, menetapkan patokan tarif pembelian listrik yang memanfaatkan EBT sebagai sumber energi oleh PLN. Patokan tarif ini sudah lama ditunggu-tunggu para pengembang, agar mendapatkan kepastian lebih dalam bisnis EBT.
Melalui Perpres tersebut, Presiden Jokowi boleh dikata serius mendorong pengembangan EBT di satu sisi dan mengancam bisnis PLTU di sisi lain, dengan membatasi operasionalnya paling lama sampai tahun 2050.
Mendorong Pembangkit EBT
Sudah menjadi rahasia umum, biaya listrik EBT, saat ini masih terbilang mahal. Faktor seperti tingginya biaya investasi awal, ketidakstabilan produksi (intermittent) yang berimplikasi pada pembiayaan komponen penyimpanan energi adalah sebagian penyebabnya. Tak heran, mayoritas listrik Indonesia masih disuplai pembangkit fosil (baca : batubara), yang lebih murah.
Atas dasar visi mulia, energi bersih, yang telah ditetapkan targetnya dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), berbagai pihak kemudian mendorong pemerintah memberikan kepastian bisnis listrik EBT, dengan jaminan tarif, yang berujung kelahiran Perpres tersebut. RUEN yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, memberikan amanat bauran energi primer 23% EBT atau 45,2 GW pembangkit EBT pada tahun 2025 dan 31,2% EBT atau 167,6 GW pembangkit EBT pada tahun 2050. Sebagai gambaran, Dewan Energi Nasional melansir Neraca Energi Nasional 2021, bauran energi primer tahun 2020 baru mencapai 11,3% EBT dan 10,47 GW pembangkit EBT. Di sektor pembangkit, capaian tersebut belum melebihi 25% dari target tahun 2025.
Melalui Perpres 112, adanya kepastian tarif diharapkan mampu mendorong para pengembang pembangkit EBT secara ekspansif memperbesar investasinya, sehingga target bauran EBT lebih cepat tercapai. Sebagai contoh, penetapan patokan tarif tertinggi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), untuk kapasitas lebih besar dari 50 MW sampai dengan 100 MW, ditetapkan patokan harga tertinggi pembelian listrik sebesar 8,64 cent USD per kWh pada periode operasi 10 tahun pertama dan 7,35 cent USD per kWh periode selanjutnya. Tahun 2020, dari data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030, produksi PLTP dari luar PLN sebesar 11.377 TWh. Dengan asumsi memakai patokan harga tertinggi periode 10 tahun pertama, maka pada tahun 2020, omset PLTP mencapai 982,97 miliar USD.
Secara tersirat, Pasal 24, Pemerintah menggaransi PLN, akan memberikan kompensasi jika terjadi kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik yang diakibatkan Perpres 112. Pada titik ini, pemerintah dengan sadar mentolerir kenaikan biaya kompensasi atau subsidi energi, atas idealitas energi hijau. Logika berbeda pada kebijakan kenaikan BBM beberapa waktu lampau, dengan menebarkan pesan ‘APBN Jebol’.
PLTU Pensiun ?
Selain soal tarif EBT, Perpres 112 juga mengamanatkan pada PLN dan Kementerian ESDM, segera mempensiunkan PLTU. Paling lama, PLTU boleh beroperasi hingga tahun 2050, kemudian digantikan pembangkit EBT.
Data RUPTL 2021 – 2030, tahun 2020, produksi listrik Indonesia didominasi oleh PLTU dengan proporsi 66,30% atau 180.203 TWh, mayoritas (62,66%) diantaranya berasal dari produksi PLTU milik PLN. Total, PLN memiliki 102 unit PLTU, dengan kapasitas terpasang 18,62 GW dan daya mampu 16,66 GW. Sementara di luar PLN, terdapat 75 unit PLTU dengan kapasitas terpasang 11,54 GW.
179 unit PLTU, jumlah yang tak sedikit. Di dalamnya, selain tenaga kerja, bisnis pendukung, terutama bisnis batubara, akan terimbas. Tahun 2021, data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, produksi batu bara mencapai 613,99 juta ton, digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sejumlah 133,04 juta ton, 84,28% (112,13 juta ton) diantaranya diserap PLTU.
Hal tersebut mengisyaratkan ketergantungan listrik Indonesia pada PLTU, pun besar dan banyaknya bisnis yang bakal terimbas ketika berhenti operasinya. Oleh karena itu, penting kita mendorong pengembangan pembangkit EBT, khususnya panas bumi (PLTP), yang memiliki karakteristik pembangkitan hampir sama dengan PLTU. Sekaligus berpesan, agar pemerintah ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan penghentian operasional PLTU. Harapannya, apapun keputusan pemerintah terkait PLTU, ketersediaan dan kualitas supply listrik harus tetap terjamin serta harganya terjangkau.
Al hasil, ke depan, pengembangan pembangkit EBT dihadapkan pada ragam tantangan (boleh dibaca : ancaman). Pertama, mengejar target bauran energi yang telah ditetapkan dalam RUEN. Kedua, besar kapasitas dan produktifitasnya harus mampu menggantikan PLTU yang bakal pensiun. Ketiga, mampu menjamin ketersediaan listrik yang kebutuhannya terus meningkat. Keempat, membengkaknya anggaran kompensasi atau subsidi energi yang telah disinyalir secara eksplisit dalam Perpres 112. Kelima, mendesak pengembangan teknologi dalam negeri terkait aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Keenam, transformasi tenaga kerja PLTU berikut bisnis pendukungnya. Terakhir, efek bisnis dan finansial PLN akibat rencana penghentian operasional 102 unit PLTU miliknya.
Selamat Merayakan Bulan Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mari berpacu terangi negeri, sebagaimana Cahaya Muhammad SAW yang senantiasa menerangi umatnya. Amiin.
¹ Wakil Sekretaris PW GP Ansor Jawa Timur / Mahasiswa Magister Inovasi Sistem dan Teknologi – Energi Terbarukan ITS Surabaya