Oleh : Adil satria Putra | Cyber media PW Ansor Jatim
Dalam Pembuka percakapannya yang sedang ramai dibahas bersama sugik nur, Refly Harun mengatakan bahwa NU adalah Ormas main aman, tidak pernah beroposisi dan selalu akomodatif terhadap rezim kekuasaan sepanjang sejarah
Sebagai Cendekiawan, seharusnya Refly sadar bahwa ucapannya akan menjadi rujukan dan alat ukur pembenar netizen yang setia menonton Channel youtube miliknya. Netizen akan tutup mata bahwa gelar doktor milik Refly hanya berlaku untuk disiplin ilmu hukum bukan untuk bidang lainnya, bukan juga untuk bidang sejarah
Lalu apakah pernyataan Refly mengenai NU ormas main aman dan enggan beroposisi sepanjang sejarah politik republik ini dapat dibenarkan ? Mari kita bahas perlahan dan hati-hati
NU sebagaimana Organ Jam’iyah besar lainnya tentu tidak bertumpu pada figur tunggal terutama pasca ditinggal Rois Akbar Kyai Haji Hasyim Asy’ari, Sepeninggal Hadratusyaikh ada 2 kekuatan yang sama-sama besar dan hegemonik di tubuh Nahdlatul Ulama yakni KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri keduanya merupakan Santri Kesayangan Hadratusyaikh yang mendapatkan legitimasi kepemimpinan oleh nyaris seluruh warga NU
Dalam buku “Tradisionalisme Radikal” (yang merupakan kumpulan Catatan Mitsuo Nakamura, Greg Barton, Greg Fealy dkk) dapat disimpulkan bahwa Antara Mbah Wahab dan Mbah Bisri terjadi perbedaan kepribadian serta cara pandang dalam banyak hal, baik politik, Fiqh, maupun tata kelola organisasi.
Mbah Wahab Chasbullah sebagai figur kosmopolit pada zamannya lebih akomodatif dalam kebijakan politik tapi tegas untuk perkara marwah kelembagaan. Beliau mengedepankan pertimbangan Maslahah dan mafsadah dalam menentukan kebijakan organisasi. Ketika NU pelan-pelan pengaruhnya mulai dikikis oleh tokoh modernis di tubuh Masyumi maka Mbah Wahab Bertindak tegas untuk keluar barisan lalu mendeklarasikan NU sebagai Partai Otonom. Pilihan ini terbukti berhasil, duet Mbah Wahab dan Idham Chalid Sukses mengantarkan Partai NU di posisi ke 3 di bawah PNI juga Masyumi. Tatkala faksi islam protol secara politik karena peristiwa PRRI/Permesta, lalu kekuatan PKI mulai mendapat panggung kekuasaan lewat Nasakom, NU tidak serta merta masuk di dalamnya tanpa pertimbangan bahkan keputusan ini diambil setelah debat berdarah-darah Antara Mbah Wahab Dan Mbah Bisri, disaksikan para santri dalam debat itu Mbah Bisri Sampai menggebrak Meja lalu disambut mbah Wahab dengan Menggebrak Meja menggunakan kaki, Mbah Bisri Menganggap Masuknya NU dalam Koalisi Nasakom Sebagai Sebuah penghianatan atas etika politik islam ketika disaat bersamaan Masyumi dibubarkan tak etis kiranya bila NU bergabung dengan Anasir komunisme, sementara Bagi Mbah Wahab jika ajakan Bung Karno untuk masuk dalam Nasakom tidak dipenuhi NU maka Negara ini akan dikuasai Komunis tanpa kontrol kekuatan islam, sebab di sisi Presiden Soekarno hanya akan dikelilingi elit Komunis semata tanpa penyeimbang kekuatan islam.
Berbeda Dengan Mbah Wahab yang lentur dan punya banyak kesamaan dengan Bung Karno (yang dalam buku itu juga diceritakan bahwa antara Mbah Wahab dan Bung Karno memiliki selera sama di bidang Pewayangan), Mbah Bisri merupakan Figur yang ketat, ia keras dalam prinsip dan teguh menegakkan dasar-dasar Fiqh di dalam menentukan keputusan apapun. Tatkala KH. Wahab Chasbullah Mengambil Sikap untuk membentuk partai NU, mbah Bisri mengecam dan menganggap upaya NU mendirikan partai adalah merupakan tindakan memecah belah kekuatan islam politik, sebab jika sudah ada Masyumi kenapa harus membentuk Partai Islam lain. Mbah Bisri Syansuri juga getol mengkampanyekan anti berkoalisi dengan komunisme, di kalangan pemuda NU sendiri kampanye ini digalakkan oleh Subchan ZE bahkan Subchan telah menyiapkan latihan-latihan Militer kepada organ-organ muda seperti Ansor untuk persiapan operasi Ganyang PKI sebelum Peristiwa Gestapu terjadi.
Saat Rezim Orla Demokrasi Terpimpin Bung Karno berakhir, dimana NU lewat sayap Pemuda Ansor menjadi garda depan yang berbenturan langsung dengan blok politik Komunis dan turut melahirkan Rezim Baru bernama Orba tidak serta merta membuat NU mendapat kursi empuk kekuasaan. Justru Rezim Militer inilah yang kelak akan menjadi tangan besi kekuasaan yang paling lama menindas kelompok islam tradisional.
NU dianggap sebagai satu-satunya Rival Sepadan yang berpotensi untuk menandingi kekuatan politik militer, suara NU pada pemilu 1955 berada di bawah 2 partai yang sudah sama-sama bubar yakni PNI dan Masyumi. Maka jelas tugas pertama Rezim orba secara politik ialah menunda pemilu sembari menyiapkan soko guru partai yang akan menjadi tulang punggung politik jangka panjang mereka.
Kebijakan mengulur pelaksanaan Pemilu inilah yang membuat Subchan ZE selaku wakil ketua MPR RI berang bukan kepalang, Subchan Menyebut ini manuver politik keblinger soeharto dan harus dilawan dengan semangat jihad. Soeharto yang mendengar orasi Subchan ZE menjadi marah besar, dan ketakutan Politisi NU benar terjadi ketika Pemilu baru dilaksanakan tahun 1971 ABRI telah memiliki partai Bernama Golkar dan secara Terstruktur membonsai suara NU di kantong-kantong basis suara santri, kyai-kyai NU di kampung banyak mendapat tekanan psikis dan fisik. Alhasil meskipun NU nangkring di posisi kedua di bawah golkar, praktik politik curang dan kotor ini membuat Rois Aam kala itu yakni KH. Bisri Syansuri melakukan gerakan perlawanan
Mbah Bisri yang memang dikenal Sangat Tegas dan Berprinsip tegak dalam kaidah Fiqh memimpin langsung perlawanan diametral melawan Orde baru di awal masa panjang kepemimpinannya, Mbah Bisri Sebagai Simbol Politik Perlawanan mengistruksikan harus ada “disiplin internal” jangan sampai kantong-kantong basis santri “tergolkarkan”. Dalam ranah kebijakan Negara Mbah bisri terang-terangan menolak Undang-Undang Perkawinan Versi Pemerintah yang menurut beliau bertentangan dengan kaidah hukum keluarga Fiqh islam. Mbah Bisri juga menolak menerima kebijakan pemerintah untuk pengesahan Aliran kepercayaan adat dimasukkan dalam GBHN 1978 serta menolak indoktrinasi tunggal ideologi negara, merespon hal terakhir Mbah Bisri menginstruksikan NU dan PPP untuk melakukan Pawai Massal kembali ke Teks Piagam Jakarta.
Ketegangan NU Vis a Vis Orde Baru terus berlanjut sepanjang tahun 70an sampai Reformasi. Berulangkali Soeharto melakukan Operasi intelijen untuk mengobok-obok internal Nahdlatul Ulama lewat Ali Moertopo hingga LB Moerdani.
Soeharto Melanggengkan Kuasanya lewat figur Idham Chalid Yang lebih akomodatif, sepanjang paruh pertama Orba Sosok idham memang tidak menemukan lawan yang setara sebab rival politiknya di NU yakni Subchan ZE meninggal Misterius di tahun 1973 setelah aksi Vokalnya melawan Soeharto (hingga kini sebab musabab kematian Subchan tak kunjung ada kejelasan). Idham yang mulai menikmati fasilitas orba ini mendapat kritik yang amat pedas dari sosok sepuh karismatik dari Situbondo ialah Kyai As’ad Syamsul Arifin, yang menganggap kepemimpinan Idham sebagai Kepemimpinan Korup dan mulai terkooptasi Orde baru. Kelak di kemudian hari Kyai As’ad memimpin penggulingan posisi idham chalid dari posisi ketua tanfidzyah NU, dan memulai ketegangan antara kubu Cipete dan kubu situbondo yang kemudian melahirkan Muktamar 1984 yang monumental dengan munculnya Figur Abdurrahman Wahid
Sejak tampuk kepemimpinan NU jatuh di tangan Abdurrahman Wahid wajah kepengurusan NU di isi oleh anak-anak muda progresif, dan melakukan perombakan gaya perlawanan terhadap Orde baru. Gus Dur tak lagi menggunakan NU sebagai Kapal Perang yang saling bombardir senjata dengan Orba, Gus Dur memilih untuk membentuk sekoci-sekoci perang bersama rekan-rekan aktifisnya di luar NU dengan membentuk Fordem, dan lewat kajian-kajian kecil yang ia adakan bersama mahasiswa-mahasiswa NU di PMII. Gus Dur kala itu memperkenalkan Babon-Babon Intelektual Islam yang kritis macam Hasan Hanafi, Ashgar Ali, hingga Mohamad Arkoun. Anak-Anak muda NU yang telah diguyur wacana perlawanan ini kemudian turut melakukan aksi perlawanan jalanan (membentuk lingkar studi kritis macam Lkis, Elsad, 164 dll ) dan turut serta menumbangkan Rezim Tua bangka orde baru
NU era Gus Dur juga tak luput dari upaya kudeta operasi Orba, Muktamar Cipasung 1994 selamanya akan dikenang sebagai keberhasilan NU dalam membendung praktik kotor Soeharto untuk cawe-cawe urusan internal Nahdlatul Ulama. Kala itu pemerintah memunculkan nama tandingan untuk melawan Gus Dur yakni Abu Hasan, detik-detik menjelang pemilihan menjadi detik yang amat mengharukan, dimana proses pemilihan mendapat tekanan ketat para tentara di luar dan di dalam forum, tangis para kyai sepuh tumpah sembari berdoa agar NU selamat dari kedzoliman penguasa. Alhasil Gus Dur keluar sebagai pemenang dengan jarak suara yang amat tipis, hampir saja Soeharto mencengkeram NU lewat Abu Hasan.
Catatan Panjang Pasang Surut dan ketegangan NU Vis A Vis Negara sejak Orde Lama hingga penghujung Orde baru, dan yang terbaru ialah penolakan PBNU atas Undang-Undang Cipta Kerja hari ini merupakan fakta sejarah bahwa NU bukanlah Ormas Main aman sebagaimana dituduhkan Refly Harun. Dan NU sebagai Organisasi Besar tidak bersifat Tunggal, di dalamnya banyak ulama yang berbeda pendapat namun tetap arif dalam berpolemik, kritik-kritik PBNU langsung menyasar permasalahan (seperti penolakan pelaksanaan Pilkada dalam situasi Covid 19, serta UU Omnibus Law yang tidak Pro Buruh) tidak bertele-tele dan mbulet sebagaimana Refly Harun dan teman-temannya di KAMI yang cenderung berlatar sakit hati Pasca kontestasi Politik 5 tahunan semata.