Oleh : Wachyuni Zulkarnain
(Litbang PC Fatayat NU Bangil)
Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari jasa para Ulama dan santri yang telah memperjuangkan kemerdekaan negara republik Indonesia. Para Ulama mewarisi semangat jihad dan cinta tanah air dari ulama’-ulama’ terdahulu bahkan wali songo. Era kolonial saat merebut kemerdekaan, para ulama terhimpun dalam perang Diponegoro. Perang Diponegoro merupakan bentuk riil dari kepedulian para Ulama dan santri dalam kedaulatan dan kemerdekaan bangsa ini. Perang tersebut bukan se sederhana tentang tradisi yang di oyak-oyak oleh Belanda, ataupun tentang sebuah emosi karena makam para leluhur raja Jawa yang dijadikan sesuatu tidak semestinya. Namun ada alasan besar dari perang Jawa yang kemudian membuat bangkrutnya para Kompeni Belanda, yaitu kemerdekaan bangsa sesuai nilai-nilai agama.
Kobaran semangat ulama yang telah ditanamkan dalam perang Jawa/perang Pangeran Diponegoro itu tidak hanya putus saat beliau tertangkap oleh Belanda dengan cara yang sangat curang. Para prajurit Diponegoro bertebaran dimana-mana sambil menyebarkan agama Islam serta memperjuangkan kemerdekaan. Sebut saja misalnya Kyai Abdussalam (salah satu prajurit Pangeran Diponegoro) yang kemudian menyebarkan agama Islam, mendidik santri, memperjuangkan kemerdekaan negara, dan dari beliaulah lahir ulama besar dan pendiri Nahdlotul Ulama yaitu KH Hasyim Asyari dan KH Abd Wahab Chasbulloh.
Dari situ tentu semangat memperjuangkan kemerdekaan tanah air, semangat memperjuangkan pendidikan para santri terpatri dalam sanubarinya. Saat Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, tidak lantas bersih dari ancaman musuh. Namun penjajah masih saja melakukan upaya agar bisa menguasai Indonesia. Di tahun 1945, para ulama tetap terkoordinasi dengan sangat baik dan sempurna dalam menyelesaikan urusan bangsa. Semangat yang luar biasa tak pernah padam serta terus berkobar dalam jiwa para ulama. Setiap daerah memiliki pimpinan tentara yang tanpa upah, beliau adalah kyai-kyai kita.
Laskar hizbulloh merupakan salah satu wadah dari tentara-tentara yang dikomandani oleh para kyai. KH Wahab Chasbulloh merupakan komandan pusat dari laskar Hizbulloh, sedang para santri dikomandani oleh KH Zainul Arifin. Setiap daerah memiliki komandan resimen dari laskar Hizbulloh, tidak kalah penting di wilayah Bangil komandan laskar Hizbulloh adalah KH Syakur Adnan.
Kyai Syakur Adnan adalah seorang kyai yang lahir pada tahun 1921, menikah dengan ibunyai Fatimatuz Zuhro dan dikaruniai 13 putra putri (Abdul Halim, Robiatul Adawiyah, Zaini, Azizah, Siti Romlah, Asma Hani, Anisah,Sholihah, M Sholeh, Siti Hasanah, Fauziyah, Ubaidillah,Istiqomah). Beliau juga sepupuh KH Abdul Wahab Chasbulloh dari istri beliau yang berasal dari Bangil, sehingga dari kedekatan kekerabatan ini beliau diminta sebagai tentara resimen laskar Hizbulloh.
Sebagai seorang Kyai yang hafal Al Quran, pernah beliau merasa malu karena harus menjadi seorang komandan perang dalam barisan laskar Hizbulloh. Kemudian malam harinya beliau mimpi ketemu Rosululloh dengan menggunakan baju tentara perang. Sejak saat itu, menjadi bagian tentara resimen adalah sesuatu yang diharuskan, dan membela tanah air serta mencintainya merupakan kewajiban bagi ulama, santri, juga semua warga negara Indonesia. Semangat beliau kemudian membara, berkobar dan tak pernah padam, bahkan sampai terwariskan kepada anak cucu, santri dan murid beliau.
Sebagai komandan tentara resimen laskar hizbulloh, Kyai Syakur adalah salah satu komandan yang diberi tugas oleh almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbulloh untuk melakukan komunikasi dengan para kyai yang menjadi komandan di daerah-daerah lain. Ulama-ulama pada saat itu sangat berani mengambil resiko sebesar dan seberat apapun demi cinta tanah air. Beliau-beliau semua adalah orang-orang pilihan Alloh yang selalu memiliki jiwa tanggu, tak gentar melawan musuh, yang ditakuti hanyalah Alloh, penjajah, musuh, bahkan senjata apapun tidak ada yang bisa menghalangi cinta mereka terhadap bangsanya.
Kyai Syakur semasa hidupnya saat masih dalam masa memperjuangkan kemerdekaan, tidak hanya mengorbankan hartanya, namun anak-anaknya yang masih kecil meninggal dunia sebab karena sakit yang dialami karena berpindah-pindah tempat (ngungsi). Kehidupan keluarganya berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain, bahkan sampai keluar propinsi yaitu Solo.
Jiwa ksatria yang dimiliki oleh Kyai Syakur sangat begitu gagah, kyai kharismatik asal Bangil ini begitu sangat pemberani melawan kompeni. Apapun harus dilakukan untuk melawan penjajah di Indonesia, sehingga dalam seruan jihad beliau selalu terdepan memberi contoh prajuritnya. Sebagai komandan pemberani, kyai Syakur juga tidak takut dikepung oleh Sekutu. Bangsa ini sangat dicintai oleh para ulama, saat perang meletus, para kyai menghimpun prajurit yang berasal dari santri ataupun kerabatnya. Maka darah juang santri hingga saat ini selalu berkobar dan tidak padam, karena keteladan para ulama terdahulu telah mendarah daging bagi santri sampai saat ini.
Bukan hanya Kyai Syakur yang memiliki semangat patrotiatisme, namun istri beliau juga memiliki jiwa yang sama. Saat Belanda seringkali ke rumah beliau untuk mencari Kyai Syakur, bunyai lah yang kemudian melakukan komunikasi agar Belanda tidak mencarinya, meskipun beliau dibentak-bentak oleh Kompeni, namun ketegaran seorang istri tetap terwujud demi suami tercinta. Sangat sering sekali para musuh mencari Kyai Syakur, namun sebagai seorang istri juga memiliki jiwa patriotesme yang sama hanya dengan cara yang berbeda. Suatu hari karena begitu seringnya musuh mencari Kyai Syakur ke rumahnya, beliau mengumpat di lumbung padi.
Resiko besar selalu menjadi tantangan yang harus dihadapi dimanapun para kyai berada. Sesuatu yang tidak mudah bagi seorang ulama, antara tugas syiar agama serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Para kyai seringkali melakukan upaya yang menggentarkan dalam melawan penjajah, usaha apapun harus dilakukan demi Indonesia merdeka. Begitu juga dengan Kyai Syakur Adnan, beliau pernah mengambil senjata musuh di gudang persenjataan wilayah Porong Sidoarjo, tindakan beliau dan sepuluh anggotanya ini diketahui oleh pihak Belanda, wal hasil Belandapun meluncurkan peluru-peluru untuk menangkap mereka semua, sehingga Kyai Syakur meloncat sungai Porong untuk melarikan diri, atas anugrah Alloh tidak satupun dari mereka yang cidera.
Laskar hizbulloh ini memiliki jaringan para kyai dan santri yang sangat cukup kuat, dimanapun ada komandan laskar hizbulloh tentu itu adalah para kyai dan santri sebagai prajurit. Wilayah Bangilpun juga demikian, ketika pimpinannya adalah kyai Syakur Adnan, beliaupun tidak lepas untuk melibatkan santri, bahkan wali santri, jaringan apa saja beliau ajak untuk sama-sama merebut kemerdekaan. Sehingga dengan begini adalah merupakan nilai pendidikan bagi setiap generasi, bahwa pendahulu kita sangat susah payah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Semangat juang ini harus terwarisi oleh anak cucu beliau dan juga santri yang ada.
Sosok tegas dan pemberani ini kembali ke wilayah Bangil lagi pada tahun 1948 setelah merantau untuk keselamatan dari serangan musuh yang selalui mengancam keselamatan nyawa. Ketika itu situasi sudah cukup aman dari tentara sekutu, sehingga tahun itu beliau kembali ke Bangil dan kembali mendidik santri di pondok pesantren. Santri yang di asuh beliau adalah laki-laki semua, namun pada perkembangannya pondok juga mengasuh santri putri yang dikembangkan oleh putri beliau ibu Nyai Hj Anisah Syakur.
Meskipun Belanda sudah tidak ada di bumi pertiwi ini, tahun setelah 1945 kondisi dan situasi bangsa ini belumlah stabil. Masih ada saja yang merongrong keindahan NKRI serta ideologi Pancasila sebagai harga mati bagi negara ini. Dengan adanya peristiwa gerakan komunis, Kyai Syakur akhirnya kembali memperkuat barisan untuk mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Beserta putra-putri dan santri beliau mengenalkan falsafah pancasila serta mempertahankannya. Kala itu Bangil juga menjadi bagian tempat yang disinggahi para komunis, atas jasa perjuangan para kyai Bangil yang dipimpin oleh Kyai Syakur Adnan semua bisa dibersihkan. Termasuk beberapa tanah yang dikuasai komunis juga bisa diambil alih oleh kyai Syakur dan diberikan untuk kemaslahan NU, diantaranya gedung Waqfiyah, rumah sakit Masyitoh. Bahkan dalam situasi yang cukup sulit, baik ekonomi, keadaan keamanan negara, beliau tetap melakukan dakwahnya mensyiarkan Islam. Dalam membebaskan tanah yang dikuasai oleh orang-orang komunis, beliau juga mengeluarkan uang pribadi, sampai-sampai perhiasan bu nyai ikut banyak yang terjual demi kemaslahatan Nahdlotul Ulama.
Bangil akhirnya menjadi wilayah yang cukup religius dan khususnya Kidul Dalem. Banyak sekali yang memeluk agama Islam termasuk diantaranya adalah orang Cina yang di Bangil, Bokcie beserta keluarganya.
Rasa cinta tanah air dan Nahdlotul Ulama beliau tanamkan kepada keluarganya serta putra putrinya. Dengan cara apapun, beliau memberi semangat serta motivasi agar putra-putrinya mencintai organisasi yang didirikan oleh para kekasih Alloh. Terkadang dengan cara selalu mengajak istri dan putra-putrinya dalam tiap kali ada acara NU, agar semua terdidik serta terlatih berjuang, mencintai bangsa, agama dan Nahdlotul Ulama.